Senin, 23 Mei 2016

Berikan Senyum Terbaik Mu

Siapapun tamumu, baik itu sebuah kebahagiaan, kepahitan, maupun hal yang tidak engkau sukai tetap berikanlah senyuman indah dari bibirmu.
Mungkin hal yang tidak engkau sukai, adalah hal yang terbaik untukmu. 

Jangan bersedih, jangan terlalu larut dalam kesedihan itu.

Jadilah pribadi yang tangguh, kuat, dan azzamkan dalam hati "Keterbatasan itu bukanlah akhir dari segalanya. Keterbatasan ini bukanlah sebuah alasan untuk kita menyerah, untuk kita mundur, maupun untuk berbalik kebelakang"

Seperti penggalan syair S. Anantaguna dalam puisinya yang berjudul "Kepedasan Hidup"
...
Tanpa persoalan hidup ini sudah mati

Setiap orang tentu memiliki permasalahannya masing-masing. Berbagai persoalan dan masalah kehidupan. Begitu pula S. Anantaguna. Namun S. Anantaguna berupaya untuk menikmati hidupnya. Keras dan pedasnya kehidupan dijadikannya pengalaman yang berharga. Kalau itu sebuah persoalan, maka persoalan itu harus ditaklukkan. Dan sejatinya hidup tanpa persoalan ibarat bubur tanpa gula. 

Selain, S. Anantaguna masih banyak lai orang di luar sana yang memiliki problem yang lebih besar. Namun, hanya satu yang berbeda. Mereka menyakini bahwa ia dapat melaluinya. Bagaimana dengan kita?..

Yakin lah badai pasti berlalu, langit biru akan tampak dan pelangi akan datang dengan wajah indahnya.

Semoga syair-syair Sallim A. Fillah mampu membakar semangat kita, memberikan sedikit energi positif agar kita terus berpikir positif.



Dalam hubungan-hubungan yang kita jalin di kehidupan,
setiap orang adalah guru bagi kita.

Ya, setiap orang. Siapapun mereka. Yang baik, juga yang
jahat. Betapapun yang mereka berikan pada kita selama
ini hanyalah luka, rasa sakit, kepedihan, dan aniaya,
mereka tetaplah guru-guru kita. Bukan karena mereka
orang-orang yang bijaksana. Melainkan karena kitalah
yang sedang belajar untuk menjadi bijaksana.

Mereka mungkin tanah gersang. Dan kitalah murid yang
belajar untuk menjadi bijaksana. Kita belajar untuk
menjadi embun pada paginya, awan teduh bagi siangnya,
dan rembulan yang menghias malamnya.

Tetapi barangkali, kita justru adalah tanah yang paling
gersang. Lebih gersang dari sawah yang kerontang. Lebih
cengkar dari lahan kering di kemarau yang panjang. Lebih
tandus dari padang rumput yang terbakar dan hangus.
Maka bagi kita sang tanah gersang, selalu ada kesempatan
menjadi murid yang bijaksana.

Seperti matahari yang tak hendak dekat-dekat bumi
karena khawatir nyalanya bisa memusnahkan kehidupan.
Seperti gunung api yang lahar panasnya kelak menjelma
lahan subur, sejuk menghijau berwujud hutan.

Dan seperti batu cadas yang memberi kesempatan lumut
untuk tumbuh di permukaannya. Dia izinkan sang lumut
menghancurkan tubuhnya, melembutkan kekerasannya.
Demi terciptanya butir-butir tanah. Demi tersedianya
unsur hara agar pepohonan berbuah.

_Salim A. Fillah, DDU_





0 komentar:

Posting Komentar